KOLOM INDONESIA || Guru Besar Hukum Universitas Pancasila, Prof. Agus Surono, menilai perluasan kewenangan Kejaksaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dapat menimbulkan kerancuan dalam sistem peradilan pidana.
Ia menegaskan bahwa jaksa memiliki tugas utama dalam proses penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), sehingga perluasan kewenangan harus dikaji secara mendalam.
“Asas dominus litis dalam RKUHAP berpotensi memberikan kewenangan lebih kepada Kejaksaan dalam proses perkara pidana. Tidak seharusnya ada satu institusi yang menjadi superbodi, tanpa pengawasan pihak lain,” ujar Prof. Agus dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Aspek Krusial dalam RKUHAP: Perubahan, Dampak, dan Implementasi” yang diselenggarakan oleh Centrum Muda Proaktif (CMPro) bersama Koalisi Indonesia Muda (KIM) di Bogor, Rabu, 5 Maret 2025.
Dalam forum diskusi tersebut, Ia menekankan bahwa tugas tambahan jaksa dalam penyidikan hanya boleh berlaku dalam perkara tertentu, tidak melebar ke aspek lain.
“Tidak boleh nambah ke mana-mana. Ini yang agak rancu, karena tugas utamanya adalah penuntutan dan pelaksanaan putusan peradilan,” tegasnya.
Prof Agus juga menekankan tidak boleh mempersoalkan dominus litis sebagai alasan jaksa meminta kewenangan lebih. Perlu ada asas keseimbangan dalam RUU KUHAP.
Menurut dia, implementasi dari asas diferensiasi fungsional yaitu tidak mungkin semua proses hukum dilakukan satu institusi hukum. Sebab, dapat menciptakan absolutisme kewenangan dan arogansi institusional.
“Subsistem dalam sistem peradilan pidana punya kedudukan yang sama sesuai tugas dan perannya masing-masing,” tegasnya.
Ia menilai RUU KUHAP seolah-olah hendak menghilangkan proses penyelidikan dan melimpahkan proses penyidikan kepada aparat penegak hukum tertentu. Menurutnya, penghapusan tahap penyelidikan dapat berimplikasi serius terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Proses penyelidikan ini merupakan tahapan penting untuk menentukan apakah sebuah peristiwa dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana,” ujarnya.
Diskusi ini turut dihadiri oleh Guru Besar Hukum Universitas Djuanda, Prof. Henny Nuraeny, Koorpresnas Koalisi Indonesia Muda Onky Fachrur Rozie, Ketua Harian Centrum Muda Proaktif Rizki Abdul Rahman Wahid, serta akademisi, praktisi hukum, birokrat, dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bogor Raya.