APA KABAR GUBERNUR MAHASISWA ?
Seruan aksi dilakukan di depan gedung rektorat dengan titik kumpul depan auditorium utama kampus. Semua mahasiswa berkumpul dengan almamater yang di sandang sebagai bentuk jika aksi kali ini dilakukan secara resmi oleh seluruh mahasiswa dan ormawa kampus.
Seruan aksi dituju untuk penurunan UKT mahasiswa, fasilitas belajar, dan memperbaiki sistem perkuliahan.
Usai memastikan semuanya sudah berjalan dengan benar dan sesuai rencana, tepat ketika waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, Sastra, selaku pemimpin dari aksi itu memakai almamaternya, mengikat kepala dengan bandana kebanggaannya. Bersikap bak tentara yang akan segera terjun ke medan perang. Tiap kali melakukan demonstrasi atau aksi, ia pasti berperan sebagai komandan lapangan karena ia yang paling pintar dan lantang untuk membakar semangat massa.
Sastra memimpin rombongan naik ke mobil pick up. Sambil membawa megafon, membunyikan sirine sembari mengelilingi area kampus. Memberi tanda sekaligus peringatan kepada seluruh mahasiswa untuk mengosongkan kelas dan ikut menjalankan aksi. Sastra dan teman-temannya melakukan arak-arakan untuk menarik simpati mahasiswa hingga mobil berhenti di depan gedung Fakultas Tarbiyah. Dalam waktu singkat, barisan segera tercipta. Massa yang terkumpul lebih dari seratus orang, banyak mahasiswa baru yang juga ikut turun tangan.
“Kita mengajak kalian seluruh mahasiwa untuk menyuarakan keadilan yang seharusnya kita semua dapatkan!”
Beberapa mahasiswa yang berada di lantai atas mulai berhamburan beranjak turun karena mendengarkan intsruksi tersebut. Beberapa yang baru datang juga ada yang mulai ikut bergabung dengan massa. Mereka mulai berjalan bersama menuju depan gedung rektorat dengan spanduk yang mereka angkat tinggi-tinggi, menyanyikan yel-yel, serta membunyikan sirine kesekian kali.
Setelah sampai depan gedung rektorat, semua massa berseru ketika Sastra membacakan semua tuntutan untuk penyelesaian demonstrasi ini. Gedung itu bergemuruh seolah ingin runtuh dengan suara para mahasiswa.
Setelah melewati proses panjang, akhirnya pihak rektor pun menyerah terhadap aksi mahasiswa tersebut. Karena apabila dibiarkan berlarut-larut, akan melumpuhkan berbagai aktivitas kampus.
Pihak rektor segera memberi pernyataan bahwa akan mengabulkan seluruh tuntutan mahasiswa dan memberi penyataan bahwa akan menindaklanjuti permintaan dari mahasiswa. Keputusan membuat gedung kembali bergemuruh, mahasiswa pun bersorak merasa gembira karena mendapat titik terang dari aksi mereka.
“Almamatermu mana?” tanya seorang cowok dengan bandana di kepalanya. Kini mereka tengah berada di depan gedung auditorium utama. Menatap penuh selidik gadis yang berada di depannya. Pasalnya ia menemukan gadis ini tengah mengendap-ngendap diantara kerumunan massa.
“Anu mas, saya—“
“Kan sudah dibilang, demo kali ini semua mahasiswa harus menggunakan almamater,” tegasnya kembali mengingatkan.
“Tapi mas—“
“Sas, ayo buruan!”
Perkataan gadis bernama Hanindira terpotong tatkala salah satu teman Sastra memanggilnya untuk segera bergabung. Membuat cowok yang semula menatap gadis itu lantas menolehkan pandangannya sesaat. “Oke,” jawabnya dengan sedikit berteriak.
Cowok bernama Sastra itu kembali mengalihkan pandangannya kepada Hanindira. “Pakai almamater ini aja,” putusnya sembari membuka almamater yang ia pakai.
Hanindira yang melihat hal itu lantas membelalakkan matanya panik. “Maaf Mas, saya nggak mau ikutan aksi, tadi saya niatnya mau numpang sembunyi aja soalnya tadi ada dosen saya lewat. Jadi ceritanya, saya itu telat ma–“
“Sudah, sudah.. nggak usah curhat,” sarkas Sastra sukses membuat Hanindira mengatupkan bibirnya diam.
“Nih.” Sastra memberikan almamaternya dan diterima dengan rasa terpaksa oleh Hanindira.
Cowok itu sedikit membenarkan lengan kemejanya untuk ia gulung hingga lengannya. “Jangan lupa dikembaliin. Masih belum sempro nih. Masih diperluin tuh almamater,” tukasnya dengan mata sedikit melirik gadis di depannya yang terus menampakkan wajah tak sukanya.
“Kan saya gak mau minjem,” gumamnya sedikit mencibir.
Menjadi suatu kejadian awal seorang mahasiwi baru bernama Hanindira Hayunggi itu terjebak untuk mengenalnya. Yah, Laksamana Sastra Mahendra namanya. Seorang Gubernur Mahasiswa di kampus tempatnya kuliah. Cowok yang menariknya asal untuk bergabung dengan seruan aksi yang dilakukan oleh seluruh mahasiswa baik. Padahal dirinya sangat tidak menyukai keramaian, khususnya seruan aksi massa seperti yang tengah ia hadapi sekarang.
Menjadi salah satu awal juga dimana kepercayaannya terhadap seorang cowok kian terbuka kembali. Rahang tajam dengan netra mata yang menyorot teduh membuatnya tanpa sadar tertarik kedalam dimensi yang Sastra ciptakan.
Dulu Hanindira tidak menyukai anak aktivis. Menurutnya, mereka hanyalah orang-orang gabut yang sedang mencari kesibukan di kampus dan mencari nama untuk dikenal banyak orang. Namun sekarang, semua persepsinya mengenai seorang anak aktivis berubah semenjak ia mengenalnya. Seorang kakak tingkat semester akhir yang pernah menjadi bagian dari dalam hidupnya. Ia adalah Sastra. Cowok satu-satunya yang berhasil memikat hati seorang Hanindira untuk pertama kalinya.
Pamekasan di malam hari adalah gudangnya keramaian. Gedung-gedung kota berdiri megah memancarkan cahaya bak kunang-kunang. Deru klakson kendaraan saling bersahutan, menunjukkan rasa tidak sabaran pengendara untuk kembali ke rumah.
“Kamu tahu nggak, selama ini aku ngerasa pemikiran kita nggak pernah sejalan,” ungkap Sastra membuka obrolan. Ia terus memandang kedepan dengan tatapan yang tidak bisa dijabarkan seolah pemandangan di depannya lebih menarik dari sang kekasih. Pasalnya kini mereka berdua tengah duduk di antara ramainya pengunjung taman Arek Lancor malam itu.
“Terus, kenapa?” tanya Hanindira mengernyitkan keningnya bingung mengahadap sepenuhnya pada Sastra. “Bukannya selama ada perbedaan, memang selalu ada pertentangan? Itu hukum alam kan?” tanya Hanindira seolah pertanyaannya juga merupakan pernyataan telak bagi cowok didepannya.
“Lagian, di Indonesia rasa egois dalam perbedaan pemikiran udah hal yang sangat wajar sih, sifat memperjuangkan identitas juga hal yang udah ada dari zaman penjajahan,” lanjut Hanindira dengan nada santai.
Sastra menolehkan pandangannya pada Hanindira hingga tatapan mereka bertemu. Sastra mengunci tatapan itu seolah berharap tatapan itu akan selalu bisa ia rasakan seterusnya. “Kalau aku egois biar bisa dapetin fokusmu seutuhnya bagaimana? Selama ini hidupmu penuh aturan dari dirimu sendiri. Bahkan barang sedikit aku mengaturmu saja, kamu marah seakan sifatku yang terlalu posesif.”
“Aku sudah dewasa, Hanindira. Sebentar lagi juga akan lulus. Aku tidak pernah main-main yang namanya berhubungan. Jika kamu hanya menganggap ini sebagai permainan, kita akhiri sekarang.”
Setelah beberapa bulan lamanya Hanindira mengakhiri semua kontak dengan seorang aktivis kampus, kini keduanya dipertemukan kembali pada acara wisuda cowok itu. Di depan gedung auditorium, tatapan mereka kembali bertemu. Mengingatkan memori bagaimana awal mula ia bertemu dengan Sastra di mana mengharuskan ia terpaksa terlibat dalam aksi demonstrasi kala itu.
Dengan toga yang Sastra pakai, ia tersenyum manis menatap gadis yang beberapa bulan lalu pernah menjadi kekasihnya. Hanindira, ia seakan sulit untuk mengekspresikan apa yang tengah ia rasakan. Rasa kecewa, sedih sekaligus senang bisa menatap kembali netra mata teduh cowok itu merupakan suatu hal yang sangat ia rindukan.
Dengan langkah santai, perlahan Sastra berjalan mendekat kearahnya dan disambut senyuman getir dari bibir Hanindira.
“Apa kabar, Mas?” tanya Hanindira hati-hati. Bahkan hatinya sudah tak karuan ketika ia melontarkan kalimat yang sering ia pikirkan semenjak mengakhiri hubungan dengannya.
“Terlihat baik, bukan?” tanyanya balik dengan kekehan di akhir kalimatnya.
Hanindira mengangguk dengan senyum singkat bingung harus berbuat apa. Terasa canggung, bahkan ia sudah meremas jari-jari tangannya yang sudah mulai berkeringat dingin.
“Kamu bagaimana kabarnya?” tanya Sastra balik seolah mengerti posisi mereka yang memang terlihat seperti orang pertama kali kenal.
“A—aku—“ jawab Hanindira dengan terbata-bata. Seketika lidahnya terasa keluh untuk sekedar menjawab.
Terdengar helaan napas berat dari Sastra. “Hanindira—“ panggil Sastra lembut.
Hanindira yang semula menunduk lantas mendongak. “Iya, Mas?”
“Sekarang kamu sudah semester berapa?”
“Semester dua.”
Sastra mengangguk singkat dengan tatapan tetap terfokus padanya. “Perjalananmu masih panjang. Rajin-rajin ya kuliahnya. Setelah ini, kamu nggak akan lagi lihat kating seganteng aku lagi,” ledeknya menampakkan lengkungan manis di paras tampannya.
“Apa sih, Mas. Narsis banget,” cibir Hanindira mendengus kesal. Tapi di sisi lain ada rasa hangat dalam hatinya mendengar kalimat itu kembali.
“Kamu tahu nggak mengapa perpisahan menyakitkan?” tanya Sastra tiba-tiba membuat tubuh Hanindira seketika mendadak menegang. “Karena mereka melakukannya dengan cara yang tidak baik. Maka dari itu, biar nggak ada luka yang tertinggal, belajar paham apa itu mengikhlaskan ya,” lanjutnya dengan nada lembut nan tenang.
“Kamu percaya takdir kan?” tanya Sastra dengan menaikkan kedua alisnya dan dibalas anggukan ragu Hanindira. Sastra menarik bibirnya tipis hingga menampilkan senyum manisnya walau terlihat samar. “Sampai bertemu di takdir terbaik menurut Tuhan ya. Percaya deh, apapun yang telah terjadi sama kita, itu semua adalah takdir terbaik untuk kita menurut-Nya.”
“Jaga diri, jaga kesehatan. Jangan sering begadang juga. Rajin-rajin belajarnya. Kejar gelar wisudawati terbaik ya. Aku yakin kamu pasti bisa.”
“Aku pamit ya Nin, Assalamualaikum…” ujar Sastra pamit lalu perlahan membalikkan badannya untuk beranjak dari hadapan Hanindira. Bahkan cowok itu tidak memberikan ruang kesempatan untuk Hanindira merespon.
Hanindira termenung di tempat merasakan lemas di sekujur tubuhnya. Kerlipan mata Hanindira memberat dan pandangannya mengabur memandangi punggung cowok itu.
Tertutupi bening hangat yang mulai mengumpul di kedua kelopak matanya yang sudah sedari tadi ia tahan. Yang tak lama dengan helaan napas berat, Hanindira memejamkan matanya berusaha mencari fokusnya kembali. Namun yang ada, tetesan bening itu jatuh perlahan. Bahunya bergetar pelan dan mulai terisak, seakan membiarkan dirinya benar-benar jatuh dalam luka.
Ia kembali mendongak dengan mata yang memerah sembab. Dilihatnya cowok itu sudah kian menjauh dari hadapannya. Ia mengusap kedua matanya yang basah dan menghembuskan napasnya perlahan. Sedikit memaksakan untuk menarik lengkungan senyum di bibirnya agar terlihat baik-baik saja.
“Selamat Hari Kelulusan, Mas Gubernur,” lirihnya dengan menghilangnya cowok itu dari hadapannya.
Rasanya de javu saat tadi Sastra berdiri di depannya setelah itu melambaikan tangannya untuk izin pulang. Lalu bodohnya Hanindira berharap ia datang besok pagi lalu menjemputnya ke kampus, mengelilingi kota Pamekasan pagi hari.
Namun ia kembali tersadar dengan tamparan instrumen lagu “Selamat Tinggal” dari Virgoun yang menggema hingga terdengar di luar gedung auditorium tempatnya berdiri.
Satu hal yang kini aku mengerti
Meski berat bibir ini mengucap
Akan selalu ada kata selamat
Dalam kata selamat tinggal….
Dan ternyata semuanya memang telah selesai. Tepatnya di depan gedung auditorium utama kampus ini, adalah saksi bagaimana Sastra dan Hanindira memulai dan mengakhiri.
Sudah seharusnya Hanindira sadar dan mulai berdamai oleh pilihan. Bersamaan dengan cerpen ini, adalah sebuah bentuk ucapan terima kasih karena dulu Sastra pernah ada, terima kasih pernah mau mengisi waktu bersama, dan terima kasih sudah membentuk Hanindira menjadi perempuan yang kuat seperti sekarang.
Dulu sewaktu ia masih menjalin hubungan dengan Sastra, cowok itu ingin sekali Hanindira menulis kisah mereka berdua. Sastra pernah berkata,
“Kamu tahu kenapa orang-orang mau baca cerita? Karena mereka memang butuh hiburan, mereka butuh pelarian dari dunia nyata yang sudah banyak masalah. Jadi mending kamu tulis cerita kita dengan ending bahagia, siapa tahu ada malaikat lewat lalu ikut mengaminkannya. Syukur-syukur jika cerita kita melekat di hati para pembaca,” ujarnya terkekeh pada waktu itu.
Namun sayang, sekarang Hanindira baru bisa menuliskan kisahnya dengan Sastra dan tidak bisa memenuhi permintaan cowok itu untuk menuliskannya dengan ending bahagia. Kini ia pun tahu, bahwa kisahnya dengan seorang Gubernur Mahasiswa kemarin adalah bentuk takdir singkat yang Tuhan beri dengan begitu indah. Ia tidak pernah menyesal mengenal Sastra. Karena ia sadar, selama mereka dekat banyak sekali pelajaran hidup yang bisa ia ambil.
Penulis : Ananda Yogi Desiana